Enter your keyword

Pengembangan Desain Tenun Ikat – Pemanfaatan Pewarna Alami sebagai Potensi Budaya di Desa Bena, NTT

Pengembangan Desain Tenun Ikat – Pemanfaatan Pewarna Alami sebagai Potensi Budaya di Desa Bena, NTT

Pengembangan Desain Tenun Ikat – Pemanfaatan Pewarna Alami sebagai Potensi Budaya di Desa Bena, NTT

Pengembangan Tenun Ikat Pewarna Alami di Kampung Wisata Bena, Ngada, NTT

Oleh:

  • Dr.  Dian Widiawati, S.Sn, M.Sn
  • Dr. Ratna Panggabean, S.Sn.,M.Sn
  • Ferrarizkia Svetlana Ramadhiva, S.Ds., M.Ds
  • Aulia Fajrianingtyas, , S.Ds., M.Ds
  • Melita Jenar Karenina, S.Ds.
  • Ken Kayla Smaradhina

Tenun ikat merupakan produk unggulan Kampung Wisata Bena, Kabupaten Ngada, Nusa Tenggara Timur, dan memiliki peran penting bagi penghasilan masyarakat setempat. Meski kualitas tenun cukup baik, para perajin masih menghadapi sejumlah kendala, terutama penggunaan pewarna sintetis. Hal ini terjadi karena belum semua penenun memiliki pengetahuan dan keterampilan dalam mengolah pewarna alami. Sebagian perajin memang telah memanfaatkan bahan alam, namun hasilnya belum optimal.

Menanggapi permasalahan tersebut, tim peneliti dari Kelompok Keahlian Kriya dan Tradisi, Fakultas Seni Rupa dan Desain (FSRD) Institut Teknologi Bandung—terdiri dari dosen dan mahasiswa—melaksanakan kegiatan Pengabdian kepada Masyarakat melalui skema PM Bottom-Up ITB 2025, pada bulan September 2025 di Desa Bena. Program ini bertujuan mengembangkan variasi desain kain non-adati yang lebih modern, sekaligus memperkuat penggunaan pewarna alami sebagai nilai tambah produk tenun tradisional yang mengusung isu keberlanjutan dan kearifan lokal.

Penelitian ini menghasilkan rancangan tenun berbahan pewarna alami yang diperoleh dari kayu secang, kayu mahoni, Indigofera, daun mangga, dan biji pinang. Selain itu, tim juga memperkenalkan motif baru berbentuk biji kopi sebagai identitas visual khas daerah, mengingat komoditas kopi merupakan sumber daya melimpah di Flores namun belum pernah diangkat sebagai ragam hias tenun Bena.

Kesadaran global terhadap pelestarian lingkungan dan penguatan nilai lokal turut mendorong pengembangan produk berbasis bahan alami. Tenun ikat berpewarna alam dari Kampung Bena menjadi salah satu contoh budaya yang dapat berperan dalam ekonomi masyarakat. Namun, selain kendala penggunaan pewarna sintetis, penenun masih membutuhkan peningkatan kapasitas dalam pengolahan warna alami dan pengembangan desain, khususnya untuk kain non-adati. Potensi tanaman pewarna lokal—seperti Morobetu, nila, loba, dan kayu nangka—sebenarnya sangat kaya dan dapat memberikan ragam warna yang lebih luas.

Tahapan Kegiatan Pengabdian

Program ini dilaksanakan melalui beberapa tahapan berikut:

  1. Observasi lapangan untuk mengumpulkan data melalui peninjauan langsung dan wawancara.
  2. Analisis deskriptif guna merumuskan kebutuhan perajin sebagai dasar penyusunan materi workshop.
  3. Workshop pewarnaan alami dan pengembangan desain tenun.
  4. Pendampingan berkala untuk memantau perkembangan praktik perajin.
  5. Evaluasi hasil pelatihan dan peninjauan kualitas produk.

Untuk mendukung peningkatan kualitas tenun di Desa Bena, keterlibatan pihak-pihak yang memiliki kompetensi di bidang kriya, khususnya pewarna alami, masih sangat dibutuhkan. Melalui program pengabdian ini diharapkan muncul rentang warna yang lebih kaya, unik, dan ramah lingkungan.

Pemanfaatan Bahan Pewarna Lokal

Dalam workshop, peserta menggunakan bahan pewarna yang berasal dari kebun dan hutan sekitar desa, seperti biji pinang, daun mangga, kayu secang, daun indigo, dan kayu mahoni. Zat pembantu atau mordan yang digunakan antara lain daun loba, tawas, tunjung, sodium karbonat, dan nira. Daun loba (Symplocos), yang banyak tumbuh di hutan Desa Bena, dimanfaatkan sebagai pengganti tawas karena mengandung alum, zat pengikat warna alami. Sementara itu, nira—minuman fermentasi khas Ngada—digunakan karena sifatnya yang asam sehingga efektif sebagai mordan tambahan.

Warna diperoleh melalui proses pencelupan berulang untuk menghasilkan gradasi; semakin banyak pencelupan, warna yang dihasilkan semakin gelap. Peserta juga diperkenalkan pada beberapa metode mordanting: pre-mordanting, simultan, post-mordanting, serta kombinasi pre dan post-mordanting untuk menciptakan variasi warna yang lebih luas.

Pengembangan Desain Tenun

Observasi lapangan dimulai dengan mempelajari alur kerja para penenun, mulai dari pembersihan benang, ekstraksi pewarna, hingga penggunaan mordan berbahan daun loba. Setelah memahami proses dan berdiskusi dengan tokoh adat, tim melakukan translasi desain ke bentuk motif tenun. Biji kopi dipilih sebagai motif baru karena mencerminkan karakter lokal namun belum pernah digunakan sebelumnya. Selain itu, tim merancang motif tambahan yang diadaptasi dari bentuk anting tradisional agar memudahkan penenun mengaplikasikannya dengan teknik yang sudah familiar.

Seluruh pengembangan desain dilakukan melalui diskusi bersama masyarakat untuk memastikan kesesuaian dengan kemampuan, teknik, dan kapasitas produksi para penenun.

Melalui penggunaan pewarna alami dan eksplorasi motif berbasis potensi lokal, kain tenun ikat Desa Bena diharapkan memiliki nilai estetika dan keberlanjutan yang lebih tinggi. Pendekatan ini tidak hanya memperkaya khazanah tradisi, tetapi juga membuka peluang ekonomi baru bagi masyarakat setempat.